Minggu, 24 Juli 2016

TEORI SKIZOFRENIA





SKIZOFRENIA
GAMBARAN UMUM SKIZOFRENIA
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa dengan gejala mencakup gangguan pada pikiran, perasaan dan perilaku. Pada DSM IV dan DSM IV-TR, skizofrenia mencakup 2 kelompok gejala, yaitu gejala positif dan gejala negatif disertai dengan kemunduran fungsi sosial, pekerjaan, dan hubungan interpersonal yang berlangsung selama paling sedikit 6 bulan.

Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
  1. 1. Gejala-gejala Positif.Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
  2. 2. Gejala-gejala Negatif. Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/ mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).

ETIOLOGI
Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga, secara somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka ketiga unsur ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang patologik dari unsur psike. Hal ini tidak berarti bahwa unsur yang lain tidak terganggu. Sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur dan sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antar amanusia, dan sebagainya.
Biarpun gejala umum atau gejala yang menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), dilingkungan sosial (sosiogenik) ataupun dipsike (psikogenik). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun jiwa. Umpamanya seorang dengan depresi, karena kurang makan dan tidur daya tahan badaniah seorang berkurang sehingga mengalami keradangan tenggorokan atau seorang dengan mania mendapat kecelakaan.
Sebaliknya seorang dengan penyakit badaniah umpamanya keradangan yang melemahkan, maka daya tahan psikologiknya pun menurun sehingga ia mungkin mengalami depresi. Sudah lama diketahui juga, bahwa penyakit pada otak sering mengakibatkan gangguan jiwa. Contoh lain ialah seorang anak yang mengalami gangguan otak (karena kelahiran, keradangan dan sebagainya) kemudian menadi hiperkinetik dan sukar diasuh. Ia mempengaruhi lingkungannya, terutama orang tua dan anggota lain serumah. Mereka ini bereaksi terhadapnya dan mereka saling mempengaruhi.
Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor pada ketiga unsur itu yang
terus menerus saling mempengaruhi, yaitu :
1. Faktor-faktor somatik (somatogenik)
ü Neroanatomi
ü Nerofisiologi
ü Nerokimia
ü Tingkat kematangan dan perkembangan organik
ü Faktor-faktor pre dan peri - natal
2. Faktor-faktor psikologik ( psikogenik) :
ü Interaksi ibu –anak : normal (rasa percaya dan rasa aman) atau abnormal berdasarkan kekurangan, distorsi dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya dan kebimbangan)
ü Peranan ayah
ü Persaingan antara saudara kandung
ü Inteligensi
ü Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat
ü Kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah
ü Konsep dini : pengertian identitas diri sendiri lawan peranan yang tidak menentu
ü Keterampilan, bakat dan kreativitas
ü Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
ü Tingkat perkembangan emosi
3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik)
ü Kestabilan keluarga
ü Pola mengasuh anak
ü Tingkat ekonomi
ü Perumahan : perkotaan lawan pedesaan
ü Masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai
ü Pengaruh rasial dan keagamaan
ü Nilai-nilai
  1. A. Faktor Biologis
a. Genetika :
Menurut Cloninger, 1989 gangguan jiwa; terutama gangguan persepsi sensori dan gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di dalamnya saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak memiliki faktor herediter.
Adanya faktor keturunan yang menentukan timbulnya skizofrenia. Buktinya adalah penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia, terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%, saudara kandung 7-15%, bagi anak dengan salah salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%, bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%, bagi kembar dua telur 2-15%, bagi kembar satu telur 61-86%. Potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan melalui gen yang resesif, potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak.
  1. b. Neurobiological
Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama pada susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien mengalami pembesaran ventrikel ke III sebelah kirinya. Ciri lainnya terutama adalah pada klien yang mengalami Schizofrenia memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang yang normal (Andreasen, 1991).
Menurut Candel, Pada klien yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada daerah Amigdala sedangkan pada klien Schizofrenia yang memiliki lesi pada area Wernick’s dan area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses berbicara (Word salad).
Adanya Hiperaktivitas Dopamin pada klien dengan gangguan jiwa seringkali menimbulkan gejala-gejala Schizofrenia. Menurut hasil penelitian, neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada klien gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning, Memory reiforcement, Siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan aliran darah dan metabolisme. Neurotransmitter lain berfungsi sebagai penghambat aktivasi dopamin pada proses pergerakan yaitu GABA.(Gamma Amino Butiric Acid). Menurut Singgih gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan oleh perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aplasia). Kadang-kadang seseorang dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali, atau disebut sebagai otak yang rudimenter (Rudimentary Brain). Contoh gangguan tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung otak.
Adanya trauma pada waktu kelahiran, tumor, Infeksi otak seperti Enchepahlitis Letargica, gangguan kelenjar endokrin seperti thyroid, keracunan CO (carbon Monoxide)serta perubahanperubahan karena degenerasi yang mempengaruhi sistem persyarafan pusat.
  1. c. Biokimiawi tubuh
Beberapazat kimia otaktelah terlibatdalam skizofrenia, adalah sebagai berikut :
- Kelebihandari dopamin neurotransmitter.
- Sebuahketidakseimbangan antaraneurotransmitterdopamindan lainnya, khususnya serotonin.
- Masalahdalam sistemreseptordopaminstrategibeberapa penelitianmendukungperandopamindalam skizofrenia. Sebagai contoh, obat yangmeningkatkan kadardopamindi otakdapat menghasilkanpsikosis. Obat yangmengurangifungsi dopaminmemiliki efekantipsikotikjuga.Ini terlihat dalamobatantipsikotikyang mengurangijumlahreseptorpostsynaptic yang berinteraksi dengan dopamin.
  1. d. Neurobehavioral
Kerusakan pada bagian-bagian otak tertentu ternyata memegang peranan pada timbulnya gejala-gejala gangguan jiwa, misalnya:
- Kerusakan pada lobus frontalis: menyebabkan kesulitan dalam proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan, berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.
- Kerusakan pada Basal Gangglia dapat menyebabkan distonia dan tremor
- Gangguan pada lobus temporal limbic akan meningkatkan kewaspadaan, distractibility, gangguan memori (Short time).
Penyebab skizofrenia karena kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diencephalon atau kortex otak. Tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan post mortem atau artefak pada waktu membuat sediaan. Teori-teori itu dimasukan ke dalam kelompok teori somatogenik, teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan badaniah.
Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon/ oleh perubahan-perubahan post mortem/ merupakan artefak pada waktu membuat sediaan. Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimaterium. Begitu juga dengan gangguan metabolisme, hal ini dikarenakan pada orang yang mengalami skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Teori ini didukung oleh Adolf Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/ penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid (Maramis, 1998).
Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa skizofrenia merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel piramidal dalam otak, dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang normal.
Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis yang tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang kompleks. Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering kali berupa waham sederhana (kaplan dan Sadock, 1997).
B. Psikologis
Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat perasaan yang tidak adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri, kemudian memproyeksikan perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus menjelaskan kepada orang lain. Apa yang seseorang pikirkan tentang suatu kejadian mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan atau perilaku akan mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak dari perubahan itu salah satunya adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran seseorang karena secara nyata mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena itu, sesuai dengan waktu, kepercayaan yang irrasional menghasilkan ketidakpuasan yang ironis, menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus.
  1. C. Sebab sosio kultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :
- Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.
- Sistem Nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang diajarkan dirumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.
- Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada Iklan-iklan diradio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba mengatasinya dengan khayalan atau melakukan yang merugikan masyarakat.
- Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi. Dalam masyarakat modern kebutuhan makin meningkat dan persaingan makin meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja lebih keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal.
- Perpindahan perpindahan kesatuan keluarga
Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya, perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan). Hal ini cukup mengganggu.
- Masalah golongan minoritas
Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan tindakantindakan akan yang merugikan orang banyak.
Tinjauan Skizofrenia menurut para ahli :

Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah. Meyer mengakui bahwa suatu kontitusi yang inferior dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia.
Teori Sigmund Freud
Bila kita memakai formula Freud, maka pada skizofrenia terdapat:
- Kelemahan Ego, dapat timbul karena psikogenik ataupun somatik.
- Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan id yang berkuasa serta terjadi suatu regesi ke fase narsisme.
- Kehilangan kapasitas untuk pemindahan sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin.

Eugen Bleuler
Bleuler mengajukan supaya lebih baik dipakai istilah "skizzofrenia", karena nama ini tepat sekali menonjolkan gejala utama penyakit, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan (schizos = pecah-belah atau bercabang, phren = Jiwa).
Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok:
a.Gejala-gejala primer:
ü Gangguan proses pikiran.
ü Gangguan emosi.
ü Gangguan kemauan.
ü Otisme.
b.Gejala-gejala sekunder:
ü Waham.
ü Halusinasi.
ü Gejala katatonik atau ganguan psikomotorik yang lain.



GEJALA-GEJALA
Ada 2 kelompok menurut Bleuler yaitu: primer dan sekunder.
Gejala-gejala Primer :
ü Asosiasi terganggu (gangguan proses pikiran). Pada skizofrenia, inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran.
ü Afek terganggu. Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa:

- Parathimi: apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, tapi pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
- Paramimi: penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.
ü Ambivalensi (Menghendaki 2 hal yang berlawanan pada waktu yang sama).
ü Autisme (Cenderung menarik diri dari dunia luar dan akan berdialog dengan dunianya sendiri).

Gejala-gejala Sekunder:
ü Waham: Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre, tetapi penderita tidak sadar hal itu dan bagi penderita wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh siapa pun.
ü Halusinasi: Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal itu merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain.
ü Ilusi: Munculnya persepsi baru akibat adanya mental image serta objek luar.
ü Depersonalisasi: Suatu keadaan dimana dirinya merasakan berubah.
ü Negativisme: Sikap yang berlawanan dengan yang diperintahkan kepadanya, dan dia menolak tanpa alasan.
ü Automatisasi: Pekerjaan yang dilakukan dengan sendirinya, tidak terpengaruh dari luar.
ü Echolalia: Secara spontan menirukan bunyi atau suara atau ucapan yang didengar dari orang lain.
ü Mannerisme: Mengulang-ulang perbuatan tertentu eksesif, biasanya dilakukan secara ritual seperti melakukan seremonial.
ü Streotipi: Tindakan yang berulang-ulang.
ü Fleksibilitas cerea: Sikap atau bentuk atau posisi yang dipertahankan dalam posisi yang kosong.
ü Benommenheit: Intelektual atau perkembangan yang lambat.
ü Katapleksi: Hilangnya tonus otot dan kelemahan secara sementara serta dicetuskan oleh berbagai keadaan emosional.

Seorang Penderita dapat digolongkan menjadi:
1. Skizofrenia simplex. Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya ditemukan, waham dan halusinasinya jarang sekali ada.
2. Jenis hebefrenik. Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok ialah: gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi.
3. Jenis katatonik. Timbul pertama kali antara umur 15-30 tahun, biasanya akut serta didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik.
a. Stupor Katatonik: Penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali pada lingkungannya.
Gejala-gejalanya:
ü Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
ü Muka tanpa mimik.
ü Negativisme: bila diganti posisinya, penderita menentang.
ü Terdapat grimas dan katalepsi.
b. Gaduh gelisah katatonik: Terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi dan rangsangan dari luar.
4. Jenis paranoid. Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam perjalanan penyakitnya.
Jenis ini mulai sesudah umur 30 tahun. Penderita mudah tersinggung, mudah menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain.
5, Episoda skizofrenia akut.
Timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan punya suatu arti yang khusus baginya.
6. Skizofrenia residual. Gejala-gejala sekunder tidak jelas. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia.
7. Jenis skizo-afektif. Di samping gejala-gejalanya yang menonjol, secara bersamaan terdapat gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek tetapi mungkin juga akan sering timbul.

KRITERIA SKIZOFRENIA MENURUT DSM-IV:
A.Gejala Karakteristik
Dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil):
1. Waham.
2. Halusinasi.
3. Bicara terdisorganisasi (misalnya: sering menyimpang atau inkoheren).
4. Perilaku terdisorganisasi.
5. Gejala negative, yaitu: pendataran afektif, alogia, avolution.
Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau halusinasi, yang terdiri dari: suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran pasien, dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama lainnya.

Gangguan delusional didefinisikan sebagai suatu gangguan psikiatrik dimana gejala utamanya adalah waham. Gangguan delusional sebelumnya disebut “paranoia” atau “gangguan paranoid”. Tetapi, istilah tersebut secara tidak tepat menyatakan bahwa waham selalu bersifat persekutorik, dan tidak demikian halnya. Waham pada gangguan delusional juga dapat bersifat kebesaran, erotik, cemburu, somatik, dan campuran.
Gangguan delusional harus dibedakan dari gangguan alam perasaan dan skizofrenia. Walaupun pasien dengan gangguan delusional mungkin memiliki suatu alam perasaan yang konsisten dengan isi wahamnya, mereka tidak memiliki bukti meresapnya gejala afektif yang terlihat pada gangguan alam perasaan. Demikian juga, pasien dengan gangguan delusional adalah berbeda dengan pasien skizofrenik dalam hal tidak kacaunya isi waham mereka (sebagai contohnya, “dibuntuti oleh FBI”, dimana tidak dapat dipercaya tetapi mungkin terjadi, lawan “dikendalikan oleh orang suci”, yang tidak mungkin). Pasien dengan gangguan delusional juga tidak memiliki gejala lain yang ditemukan pada skizofrenia, seperti halusinasi yang menonjol, pendataran afektif, dan gejala tambahan gangguan pikiran.
SEJARAH

Konsep skizofrenia pertama kali diformulasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil

Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai

dementia praecox:, istilah awal untuk skizofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan

dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara

internal, penyakit manik-depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup

beberapa konsep diagnostik—demensia paranoid, katatonia, dan hebefrenia—yang

dianggap sebagai entitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade ter‑

dahalu. Meskipun berbagai gangguan tersebut secara simtomatik berbeda, Kraepelin

yakin .mereka memiliki kesamaan inti dan istilah dementia praecox mencerminkan

apa yang diyakininya merupakan inti tersebut—yailu terjadi pada usia awal (praecox)

dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual progresif (demensia).
Pandangan figur penting berikutnya, Eugen Bleuler, mencerminkan upaya spesifik untuk mendefinisikan inti gangguan dan mengubah titik berat Kraepelin pada usia terjadinya gangguan dan pada per­jalanan penyakit dalam definisinya. Pendapat Bleuler berbeda dengan Kraepelin terkait dua poin utama: ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak selalu terjadi pada usia dini, dan ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak akan berkembang menjadi demensia tanpa dapat dihindari. Dengan demikian, sebutan dementia praecox tidak sesuai lagi, dan pada tahun 1908 Bleuler mengajukan istilahnya sendiri, skizofrenia, yang berasal dari bahasa Yunani schizein, yang artinya "membelah," dan phren, yang artinya "akal pikiran", untuk mencakupkan apa yang menurutnya merupakan karakteristik utama kondisi tersebut.
Dengan tidak dianggapnya lagi usia onset dan perjalanan yang memburuk sebagai ciri-ciri penentu gangguan ini, Bleuler menghadapi masalah konseptual. Karena simtom-simtom skizofrenia dapat sangat bervariasi antarpasien, ia harus memberikan semacam justifikasi untuk mengelompokkan mereka dalam satu kategori diagnostik lunggal. Dengan demikian, Bleuler perlu menentukan satu denomina­tor umum, atau ciri utama, yang akan menghubungkan berbagai macam gangguan. Konsep metaforis yang digunakan untuk menggam­barkan hal ini adalah "rusaknya jalinan asosiatif'.
Bagi Bleuler, jalinan asosiatif tidak hanya menggabungkan kata-kata, namun juga pikiran. Dengan demikian, pikiran dan komunikasi yang bertujuan dan efisien hanya dimungkinkan jika berbagai struktur hipotetis tersebut merupakan satu kesatuan. Teori bahwa jalinan - asosiatif pada para penderita skizofrenia mengalami kerusakan dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai masalah lain. Bleuler meng­anggap kesulitan untuk memusatkan perhatian, contohnya, disebabkan oleh hilangnya tujuan dalam berpikir, dan pada gilirannya menyebabkan respons-respons pasif terhadap berbagai objek dan orang-orang di lingkungan sekelilingnya. Dengan cara yang sama, ia - menganggap blocking, yaitu tampak hilangnya seluruh aliran pikiran, sebagai gangguan total dalam jalinan asosiatif seseorang.
Meskipun Kraepelin mengakui bahwa sejumlah kecil pasien yang pada awalnya menunjukkan simtom-simtom dementia praecox tidak mengalami deteriorasi, ia lebih memilih untuk membatasi kategori diagnostik ini bagi para pasien yang memiliki prognosis buruk. Karya Bleuler, secara kontras, mengarah ke konsep skizofrenia yang luas. Ia mendiagnosis beberapa pasien dengan prognosis yang baik sebagai skizofrenik, dan juga mendiagnosis banyak pasien, yang akan didiagnosis berbeda oleh para ahli klinis lain, berdasarkan konsepnya tentang skizofrenia.

Konsep yang Diperluas di Amerika Serikat
Bleuler mcmberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia dalam perkembangannya di Amerika Serikat. Selama paruh pertama abad ke-20 diagnosis tersebut semakin meluas. Di New York State Psychiatric Insitute, contohnya, sekitar 20 persen pasien didiagnosis sebagai skizofrenik pada tahun 1930-an. Angka tersebut meningkat di sepanjang tahun 1940-an dan pada tahun 1952 memuncak hingga mencapai angka 80 persen. Secara kontras, konsep skizofrenia yang umum di Eropa tetap lebih sempit. Persentase pasien yang didiagnosis sebagai skizofrenik di Rumah Sakit Maudsley di London, contohnya, relatif konstan, yaitu 20 persen, dalam kurun waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming, & Garland, 1974).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat dapat diketahui dengan mudah. Beberapa figur penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep skizofrenia Bleuler yang pada dasarnya sudah luas. Contohnya, pada tahun 1933, Kasanin menggambarkan sembilan pasien yang didiagnosis men­derita dementia praecox. Pada mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan penyembuhannya relatif cepat. Mengamati bahwa gangguan yang mereka alami dapat dikatakan sebagai kombinasi skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin mengajukan istilah psikosis skizoafektif untuk menggambarkan berbagai gangguan yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis tersebut kemudian menjadi bagian konsep skizofrenia di AS dan dicantumkan dalam DSM-I (1952) dan DSM-II (1968).
Konsep skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik diagnosis.
  1. 1. Para ia ahli klinis AS cenderung mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham dan halusinasi. Karena simtom-simtom ini, terutama delusi, juga terjadi dalam gangguan mood, banyak pasien yang menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II sebenarnya mengalami gangguan mood-(Cooper dkk., 1972).
  2. 2. Para pasien yang dewasa ini akan didiagnosis mengalami gangguan kepribadian (terutama skizotipal, skizoid, ambang, dan gangguan kepribadian paranoid, didiagnosis sebagai skizofrenik berdasarkan kriteria DSM-II.
  3. 3. Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.
Diagnosis DSM-IV-TR
Berawal dari DSM-III (American Psychiatric Association, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiat­ric Association, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari definisi terdahulu yang luas melalui lima hal berikut.
  1. 1. Kriteria diagnostik disajikan dalam detail yang eksplisit dan substansial.
  2. 2. Para pasien yang mengalami simtom-simtom gangguan mood secara spesifik dipisahkan. Skizofrenia, tipe skizoafektif, sekarang dicantumkan sebagai gangguan skizoafektif di bagian yang berbeda sebagai salah satu gangguan psikotik. Gangguan skizo­afektif mencakup gabungan simtom-simtom skizofrenia dan gangguan mood.
  3. 3. DSM-1V-TR mensyaratkan bahwa gangguan terjadi sekurang­kurangnya enam bulan untuk diagnosis ini. Periode enam bulan tersebut harus mencakup suatu episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya sate bulan, ditandai dengan adanya minimal dua dari hal-hal berikut: waham, halusinasi, disorganisasi pernbicaran, disorganisasi perilaku yang sangat nyata atau perilaku katatonik, dan simtom-simtom negatif. (Hanya diperlukan satu dari simtom-simtom di atas jika wahamnya aneh atau jika halusinasi mencakup suara-suara yang mengomentari atau mendebat). Sisa waktu yang diperlukan bagi diagnosis dapat terjadi sebelum atau sesudah fase aktif. Berbagai masalah yang terjadi pada fase ini mencakup penarikan diri dari hubungan sosial, hendaya/dalam keberfungsian peran, afek yang tumpul atau tidak sesuai, kurangnya inisiatif, cara bicara yang membingungkan dan tidak dapat dimengerti, gangguan dalam kebersihan dan kerapihan diri, keyakinan yang aneh atau pikiran magis, dan pengalaman perseptual yang tidak wajar. Kriteria-kriteria tersebut mengeliminasi pasien yang mengalami episode psikotik singkat, yang sering kali berhubungan dengan stres, dan sembuh dengan cepat. Episode skizofrenik akut dalam sekarang didiagnosis sebagai gangguan skizofreniform atau gangguan psikotik singkat, yang juga dicantumkan di suatu bagian barn dalam DSM-IV-TR. Simtom-simtom gangguan skizofreniform sama dengan skizofrenia, namun hanya berlangsung selama satu hingga enam bulan. Gangguan psikotik singkat berlangsung selama satu hari hingga satu bulan dan sering kali disebabkan oleh stes ekstrem, seperti duka yang sangat dalam.
  4. 4. Beberapa gangguan yang pada DSM-II dianggap sebagai bentuk ringan skizofrenia sekarang didiagnosis sebagai gangguan kepribadian, contohnya, gangguan kepribadian skizotipal.
  5. 5. DSM-IV-TR membedakan antara skizofrenia paranoid, akan dibahas secara singkat nanti, dan gangguan waham. Orang yang menderita gangguan waham terganggu oleh waham kejaran yang terus-menerus atau oleh waham cemburu, yaitu tuduhan yang tidak berdasar bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia. Waham lain mencakup waham merasa dibuntuti, waham erotomania (yakin bahwa ia dicintai seseorang, biasanya orang yang sama sekali tidak dikenal dengan status sosial yang lebih tinggi), dan waham somatik (yakin bahwa ada organ tubuh yang tidak berfungsi). Tidak seperti orang yang menderita skizofrenia paranoid, orang yang menderita gangguan waham tidak mengalami disorganisasi bicara atau halusinasi, dan waham yang dialaminya tidak terlalu aneh. Gangguan waham jarang ditemukan dan umumnya terjadi pada usia lebih tua dibanding skizofrenia. Dalam sebagian besar studi keluarga gangguan ini tampaknya memiliki kaitan dengan skizofrenia, mungkin secara genetik (Kendler & Diehl,1993).
Apakah kriteria diagnoslik dalam DSM-IV-TR dapat diterapkan di semua budaya? Data yang berkaitan dengan pertanyaan ini diperoleh dalam studi World Health Organization di negara-negara industri dan negara berkembang (Jlablonsky dkk., 1994). Kriteria-kriteria simtomatik tersebut dapat diterapkan untuk semua budaya. Meskipun demikian, para pasien di negara-negara berkembang memiliki kejadian yang lebih akut dan perjalanan penyakit yang lebih baik dibanding para pasien di masyakarat industri. Penyebab temuan yang menarik ini tidak diketahui (Sasser 6t Wanderling, 1994).
Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
Telah disebutkan sebelumnya bahwa heterogenitas simtom-simtom skizofrenik mendorong timbulnya usulan mengenai berbagai subtipe gangguan ini. Tiga ape gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM T R—disorgarnsasi, katatonik dan paranoid—pertama kali dikemukakan
oleh Kraepelin bertahun- tahun.

SKIZOFRENIA PARANOID
Perjalanan penyakit pada skizofrenia tipe paranoid agak konstan. Jarang terjadi hendaya dalam kemampuan fungsi sehari-hari apabila isi waham tidak disentuh. Biasanya fungsi intelektual dan pekerjaan dapat dipertahankan walaupun gangguan tersebut bersifat kronik. Fungsi sosial dan kehidupan perkawinannya pada umumnya cukup terganggu.
Pada skizofrenia paranoid gambaran utama yang menonjol adalah:
  • Waham kejar atau waham kebesaran, misalnya kelahiran luar biasa (excited birth), urusan penyelamat bangsa, dunia dan agama, seperti misalnya kenabian atau mesias, perubahan tubuh atau halusinasi yang mengandung isi kerajaan/kebesaran.
  • Sebagai tambahan, waham cemburu dapat pula ditemukan.
Gambaran penyertanya meliputi:
  • Kecemasan tak berfokus.
  • Kemarahan.
  • Suka bertengkar/berdebat.
  • Melakukan kekerasan.
  • Kadang ditemukan kebingungan tentang identitas jenis atau ketakutan bahwa dirinya diduga oleh orang lain sebagai orang-orang homoseksual.
Onset tipe ini cenderung timbul dalam usia yang lebih lanjut dibandingkan dengan tipe lainnya, dan ciri-cirinya lebih stabil dalam jangka panjang. Apabila seseorang penderita skizofrenia tipe paranoid mempunyai keluarga yang menderita skizofrenia biasanya anggota keluarganya menderita skizofrenia tipe paranoid.
KRITERIA DIAGNOSTIK SKIZOFRENIA PARANOID:
a. Waham kejar.
b. Waham besar.
c. Waham cemburu.
d. Halusinasi yang berisi kejaran atau kebesaran.
Diagnosis skizofrenia paranoid diberikan kepada sejumlah besar pasien yang akhir-akhir ini dirawat di rumah sakit jiwa. Kunci diagnosis ini adalah adanya waham. Waham kejaran adalah yang paling umum, namun pasien dapat mengalami waham kebesaran, di mana mereka memiliki rasa yang berlebihan mengenai pentingnya, kekuasaan, pengetahuan, atau identitas diri mereka. Beberapa pasien terjangkit waham cemburu, suatu keyakinan yang tidak herdasar bahwa pasangan seksual mereka tidak setia. Waham lain yang disebutkan terdahulu, seperti merasa dikejar atau dimata-matai, juga dapat terlihat jelas.
Halusinasi pendengaran yang jelas dan nyata dapat rnenyertai waham. Para pasien yang menderita skizofrenia paranoid sering kali mengalami ideas of reference; mereka memasukkan berbagai peristiwa yang tidak penting ke dalam kerangka waham dan mengalihkan kepentingan pribadi mereka ke dalam aktivitas tidak berarti yang dilakukan orang lain. Contohnya, mereka mengira bahwa potongan percakapan yang tidak sengaja mereka dengar adalah percakapan tentang diri mereka, bahwa sering munculnya orang yang sama di suatu jalan yang biasa mereka lalui berarti mereka sedang diawasi, dan bahwa apa yang mereka lihat di televisi atau baca di majalah dengan satu atau lain cara merujuk pada mereka. Para individu yang mengalami skizofrenia paranoid selalu cemas„.argumentatif, marah, dan kadang kasar. Secara emosional mereka responsive, meskipun mereka kaku, formal, dan intens kepada oranglain. Mereka juga lebih sadar dan verbal disbanding para pasien skizofrenia tipe lain. Bahasa yang mereka gunakan meskipun penuh rujukan pada delusi, tidak mengalamai disorganisasi. Bila ada pasien skizofrenia yang mengalami masalah hukum, biasanya mereka dari kelompok yang menderita subtipe paranoid.
PREVERENSI

PENANGANAN BIOLOGIS
Terapi Kejut dan Psychosurgery.
Pertemuan umum para pasien di rumah rumah sakii jiwa di awal abad ke-20, ditambah minimnya staf profesional, menciptakan sualu iklim yang memungkinkan, atau mungkin bahkan didorong secara halus, eksperimentasi berbagai intervensi biologis yang radikal. Di awal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberikan insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan. oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa 3/4 clari para pasien skizofrenia yang ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal itu, dan terapi koma-insulinyang berisiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang ticlak dapat disadarkan dan kematian—secara bertahap ditinggalkan.

Perawatan di rumah sakit
Pada umumnya pasien dengan gangguan delusional dapat diobati dengan rawat jalan, tetapi ada alasan tertentu dimana diperlukan perawatan di rumah sakit , yaitu : Pertama diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap menunjukkan kondisi medis nonpsikiatris yang menyebabkan gangguan delusional. Kedua jika pasien tidak mampu mengendalikan impulsnya, sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Ketiga jika perilaku pasien tentang waham telah mempengaruhi fungsi kehidupannya, sehingga kemampuannya untuk dapat berfungsi dalam keluarga dan masyarakat berkurang. Dengan demikian memerlukan intervensi profesional untuk menstabilkan hubungan sosial atau pekerjaan.
Jika dokter yakin bahwa pasien akan baik jika diobati di rumah sakit, harus diusahakan untuk membujuk pasien supaya menerima perawatan di rumah sakit; jika hal tersebut gagal, komitmen hukum mungkin diindikasikan. Seringkali, jika dokter meyakinkan pasien bahwa perawatan di rumah sakit adalah diperlukan, pasien secara sukarela masuk ke rumah sakit untuk rnenghindari komitmen hukum.
Farmakoterapi
Dalam keadaan gawat darurat, pasien yang teragitasi parah harus diberikan suatu obat antipsikotik secara intramuskular. Walaupun percobaan klinik yang dilakukan secara adekuat dengan sejumlah pasien belum ada, sebagian besar klinisi berpendapat bahwa obat antipsikotik adalah obat terpilih untuk gangguan delusional. Pasien gangguan delusional kemungkinan menolak medikasi karena mereka dapat secara mudah menyatukan pemberian obat ke dalam sistem wahamnya. Dokter tidak boleh memaksakan medikasi segera setelah perawatan di rumah sakit, malahan harus menggunakan beberapa hari untuk dapat membina hubungan yang baik dengan pasien. Dokter harus menjelaskan efek samping potensial kepada pasien, sehingga pasien kemudian tidak menganggap bahwa dokter berbohong.
Riwayat pasien tentang respon medikasi adalah pedoman terbaik dalam memilih suatu obat. Biasanya obat diberikan dalam dosis rendah dan ditingkatkan secara perlahan-lahan. Jika respon gagal dalam masa percobaan selama 6 minggu, dapat dicoba antipsikotik dari golongan lain. Adakalanya pasien dengan gangguan psikotik menolak pemberian medikasi ini, karena mereka memasukkan hal ini ke dalam sistem wahamnya, misalnya pasien curiga ada racun di dalam obat yang diberikan. Dalam hal ini perlu kebijaksanaan dokter untuk menjelaskan kepada pasien secara perlahan-lahan, bahwa sama sekali tidak ada niat untuk berbuat jahat pada dirinya.
Beberapa dokter menyatakan bahwa pimozide (oral) atau serotonin-dopamin antagonis mungkin efektif dalam mengatasi gangguan delusional terutama pada pasien dengan waham somatik. Penyebab kegagalan tersering adalah ketidakpatuhan.
Jika pasien tidak merespon terhadap pengobatan antipsikotik, obat harus dihentikan. Dapat digunakan anti depresan atau anti konvulsan. Percobaan dengan obat-obat tersebut dipertimbangkan jika pasien memiliki ciri suatu gangguan afektif.
Hasil dari pengobatan dengan serotonin-dopamin antagonis (contoh : clozapin [Clozaril], olanzapine [Zyprexa], dan risperidone) berhubungan dengan pengobatan sebelumnya. Pada beberapa kasus berespon baik terhadap SSRIs (selective serotonin reuptake inhibitors), terutama pada kasus-kasus gangguan morfologi tubuh.

PENANGANAN PSIKOLOGIS

Psikoterapi
Elemen terpenting dari suatu psikoterapi adalah menjalin hubungan yang baik antar pasien dengan ahli terapinya. Terapi individual tampaknya lebih efektif daripada terapi kelompok. Terapi suportif berorientasi tilikan, kognitif dan perilaku seringkali efektif. Ahli terapi tidak boleh setuju atau menantang waham pasien, walaupun ahli terapi harus menanyakan waham untuk menegakkan diagnosis. Dokter dapat menstimulasi motivasi untuk mendapatkan bantuan dengan menekankan kemauannya untuk membantu pasien mengatasi kecemasan dan iritabilitasnya, tanpa menyatakan bahwa waham yang diobati. Ahli terapi tidak boleh secara aktif mendukung gagasan bahwa waham adalah kenyataan.
Kejujuran ahli terapi sangat penting. Ahli terapi harus tepat waktu dan terjadwal, tujuannya adalah agar tercipta suatu hubungan yang kuat dengan pasien dan pasien dapat percaya sepenuhnya pada ahli terapinya. Kepuasan yang berlebihan malahan dapat meningkatkan permusuhan dan kecurigaan pasien karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Ahli terapi dapat menghindari kepuasan yang berlebihan dengan tidak memperpanjang periode perjanjian yang telah ditentukan, dengan tidak memberikan perjanjian ekstra kecuali mutlak diperlukan, dan tidak toleran terhadap bayaran.
Ahli terapi tidak boleh membuat tanda-tanda yang meremehkan waham atau gagasan pasien, tetapi dapat secara simpatik menyatakan pada pasien bahwa keasyikan mereka dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupannya yang konstruktif. Jika pasien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, ahli terapi dapat meningkatkan tes realitas dengan meminta pasien memperjelas masalah mereka.
Terapi keluarga
Jika anggota keluarga hadir, klinisi dapat memutuskan untuk melibatkan mereka di dalam rencana pengobatan. Tanpa menjadi terlihat berpihak pada musuh, klinisi harus berusaha mendapatkan keluarga sebagai sekutu di dalam proses pengobatan. Sebagai akibatnya, baik pasien dan anggota keluarganya perlu mengerti bahwa konfidensialitas dokter-pasien akan dijaga oleh ahli terapi dan dengan demikian membantu pasien.
Hasil terapi yang baik tergantung pada kemampuan dokter psikiatrik untuk berespon terhadap ketidakpercayaan pasien terhadap orang lain dan konflik interpersonal, frustasi, dan kegagalan yang dihasilkannya. Tanda terapi yang berhasil mungkin adalah suatu kepuasan penyesuaian sosial, bukannya menghilangkan waham pasien.
Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan keterampilan sosial dirancang untuk mengajari para penderita skizofrenia bagaimana dapat berhasil dalam berbagai situasi inlerpersonal yang sangat beragam—antara lain membahas pengobatan mereka dengan psikiater, memesan makanan di restoran, mengisi formulir lamaran kerja dan belajar melakukan wawancara kerja (kadang disebut rehabilitasi pekerjaan), mengatakan tidak terhadap tawaran membeli obat di pinggir jalan, belajar tentang seks yang aman, membaca jadwal perjalanan bis—berbagai perilaku yang bagi sebagian besar di antara kita dilakukan begitu saja dan hampir tidak pernah kita pikir­kan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi para penderita skizofrenia, keterampilan kehidupan tersebut bukan hal yang dapat dilakukan begitu saja; para individu semacam itu harus berusaha keras untuk menguasainya atau kembali menguasainya. Dengan melakukan hal-hal tersebut memungkinkan orang yang bersangkutan mengambil bagian lebih besar dalam hal-hal positif yang terdapat di luar tembok-tembok institusi mental sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka (Heinssen, Liberman, & Kopelowicz, 2000; Liberman, Eckman, Kopelowicz, & Stolar, 2000).
Dalam demonstrasi pelatihan keterampilan sosial terdahulu, Bellaek, Hersen, dan lamer (1976) merekayasa berbagai situasi sosial bagi tiga pasien skizofrenik kronis dan kemudian mengamati apakah mereka berperilaku secara pantas. Contohnya, seorang pasien diminta untuk mengumpamakan bahwa ia baru saja sampai di rumah dari suatu liburan akhir minggu dan melihat bahwa rumpul di halaman rumahnya telah, dipotong. Ketika ia turun dari mobil, tetangga sebelah rumahnya mendekati­nya dan berkata bahwa ia telah memotong rumput di haiaman rumah pasien karena ia juga telah memotong rumput di halaman rumahnya sendiri. Pasien kemudian harus merespons situasi tersebut. Sesuai perkiraan, pada awalnya pasien tidak terlalu hal dalam memberikan respons yang pantas secara sosial, yang dalam kasus ini dapat berupa semacam ucapan terima kasih. Pelatihan berlanjut. Terapis mendorong pasien unluk memberikan respons, memberi komentar yang membantu upaya mereka. Jika perlu, terapis juga memberikan contoh perilaku yang pantas sehingga pasien dapat mengamati kemudian mencoba menirukannya.
Kombinasi permainan peran, modeling, dan penguatan positif menghasilkan perbaikan signifikan pada ketiga pasien tersebut. Bahkan terjadi generalisasi dalam berbagai situasi sosial yang tidak dilatih dalam pelatihan tersebut. Studi ini dan berbagai studi lain yang dilakukan dengan kelompok pasien yang lebih besar meng­indikasikan bahwa para pasien yang mengalami gangguan parah dapat diajari perilaku sosial baru yang membantu mereka berfungsi lebih baik—tingkat kekam­buhan yang lebih sedikit, keberfungsian sosial yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih tinggi (Kopelowicz dkk., 2002). Beberapa studi tersebut patut dicatat (a.l,Liberman dkk., 1998; Marder dkk., 1996) karena menunjukkan berbagai manfaat dalam periode selama dua tahun setelah terapi. Pelatihan keterampilan sosial dewasa ini biasanya merupakan salah satu komponen berbagai penanganan skizofrenia yang lebih dari sekadar memberikan obat-obatan saja, termasuk terapi keluarga untuk mengurangi ekspresr emosi. Kita beralih ke pembahasan mengenai hal itu.
Terapi Kognitif-Behavioral.
Kita beralih ke beberapa pendekatan kognitif-behavioral dalam penanganan skizofrenia. Sebelumnya diasumsikan bahwa tidak ada gunanya mencoba mengubah berbagai distorsi kognitif, termasuk delusi, pada para pasien skizofrenik. Meskipun demikian, suatu literatur klinis dan eksperimental yang sedang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa berbagai keyakinan maladaptif pada beberapa pasien kenyataannya dapat diubah dengan berbagai intervensi kognitif-be­havioral (Gaiety, Fowler, & Kuipers, 2000).
Terapi personal (Personal Therapy).
Walaupun berbagai studi mengenai penurunan EE dalam keluarga cukup membesarkan hati, sebagian besar pasien masih tetap kembali dirawat di rumah sakit, dan kemajuan klinis dari mereka yang mampu tetap tinggal di masyarakat masih jauh dari harapan (Hogarty dkk., 1997a). Apalagi yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan pasien skizofrenik dari rumah sakit untuk meningkatkan kesempatan mereka hidup lebih lama di luar lingkungan rumah sakit, terlepas dari apakah mereka tinggal dengan keluarga mereka atau tidak? Pertanyaan ini mendorong dilakukannya berbagai upaya bcrikut ini oleh salah satu kelompok yang telah mempublikasikan berbagai temuan positif, meskipun terbatas, mengenai penurunan EE (Hogarty dkk., 1995, 1997a, 1997b).
Apa yang disebut Hogarty dkk. sebagai "terapi personal" adalah suatu pendekatan kognitif behavioral berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah yang dialami pia pasien skizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit. Terapi individualistik ini dilakukan secara satu per satu maupun dalam kelompok kecil (lokakarya). Satu elemen utama dalam pendekatan ini, berdasarkan temuan dalam penelitian EE bahwa penurunan jumlah reaksi emosi para anggota keluarga menurunkan tingkat kekambuhan setelah keluar dari rumah adalah mengajari pasien bagaimana mengenali afek yang tidak sesuai. jika diabaikan, afek yang tidak sesuai dapat semakin berkembang dan menyebabkan berbagai distorsi kognitif dan perilaku social yang tidak sesuai.
Para pasien juga diajari untuk memerhatikan tanda-tanda kekambuhan meskipun kecil, seperti penarikan diri dart kehidupan sosial atau intimidasi yang tidak pantas kepada orang lain, dan mereka mempelajari berbagai keterampilan untuk mengurangi masalah-masalah tersebut. Perilaku semacam itu, jika tidak terdeteksi, sangat mungkin akan menghambat upaya pasien untuk hidup sesuai aturan sosial konvensional, termasuk bekerja dan membangun serta mempertahankan hubungan sosial. Terapi tersebut juga mencakup terapi perilaku rasional emotif untuk membantu pasien mencegah berbagai frustrasi dan tantangan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan menjadi suatu bencana dan dengan demikian membantu mereka menurunkan kadar stres.
Selain itu, pasien juga sering diajari teknik-teknik relaksasi otot sebagai suatu alat bantu untuk belajar mendeteksi kecemasan atau kemarahan yang berkembang secara perlahan kemudian menerapkan keterampilan relaksasi untuk mengendalikan berbagai emosi tersebut secara lebih baik. Asumsi yang berlaku adalah ketidakteraturan emosional merupakan bagian dari berbagai diathesis biologis dalam skizofrenia dan suatu faktor yang harus diterima dan dihadapi pasien dalam hidupnya dan bukan dihilangkan (atau disembuhkan) seluruhnya. Namun, juga terdapat fokus kuat untuk mengajarkan kete­rampilan sosial spesifik serta mendorong pasien untuk telap meneruskan pengobatan mereka dalam moda pemeliharaan, yaitu, dengan dosis yang umumnya lebih rendah dari dosis yang diperlukan dalam fase penyakit yang akut dan paling parah.
Terapi individual Hogarty juga mencakup berbagai elemen non behavioral, ter­utama penerimaan yang hangat dan empatik atas gangguan emosional dan kognitif pasien bersama dengan ekspektasi yang realistik, namun optimistik bahwa hidup dapat menjadi lebih baik. Secara umum, para pasien diajari bahwa mereka memiliki kerentanan emosional terhadap stres, bahwa pikiran mereka tidak selalu sejernih yang seharusnya, bahwa mereka harus tetap meneruskan pengobatan, dan bahwa mereka dapat mempelajari berbagai macam keterampilan agar dapat menjalani hidup secara maksimal. Ini bukan penanganan jangka pendek; penanganan ini dapat berlangsung selama 3 tahun dengan sesi terapi setiap satu atau dua minggu sekali.
Perlu dicatat bahwa fokus terapi ini sebagian besar terletak pada pasien, tidak pada keluarga. Sementara itu, fokus dalam berbagai studi keluarga adalah mengurangi tingginya EE dalam keluarga pasien—yang merupakan suatu perubahan lingkungan dari sudut pandang pasien—tujuan terapi pribadi adalah mengajarkan keterampilan coping internal kepada pasien, berbagai cara baru dalam berpikir tentang dan me­ngendalikan berbagai reaksi afektif terhadap tantangan apa pun yang terdapat di lingkungannya.
Terakhir, hal penting dalam terapi ini adalah apa yang disebut Hogarty dkk. sebagai "manajemen kritisisme dan penyelesaian konflik". Istilah tersebut merujuk pada cara menghadapi umpan balik negatif dan orang lain dan cara menyelesaikan berbagai konflik interpersonal yang merupakan bagian tak terhindarkan dalam berhubungan dengan orang lain. Mengajari pasien keterampilan penyelesaian masalah sosial—cara mengatasi berbagai lantangan yang tidak terhindarkan yang dihadapi oleh setiap orang dalam berhubungan dengan orang lain—merupakan, bagian dari elemen terapi ini (D'Zurilla & Goldfried, 1971). Berbagai menunjukkan bahwa bentuk intervensi ini dapat membantu banyak pasien skizofrenik tetap hidup di luar rumah sakit dan berfungsi dengan lehih baik, dengan hasil yang paling positif dicapai oleh mereka yang dapat hidup bersama keluarga mereka sendiri (Hogarty dkk., 1997a, 19976).
Terapi Reatribusi (Reatribution Therapy).
Kita baru saja mengkaji karya Hogarty dkk. yang mencakup berbagai upaya untuk menerapkan terapi perilaku rasional emotif untuk membantu para pasien skizofrenik agar tidak terlalu menganggap sebagai suatu bencana bila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Juga terdapat bukti-bukti bahwa beberapa pasien dapat didorong untuk menguji berbagai keyakinan delusional mereka dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh yang normal. Melalui diskusi kolaboratif (dan dalam konteks berbagai moda inter­vensi lain, termasuk pemberian obat-obatan antipsikotik), beberapa pasien dibantu untuk memberikan suatu makna nonpsikotik terhadap berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi intensitas dan karakteristiknya yang berbahaya, sama dengan yang dilakukan dalam terapi kognitif Beck untuk depresi dan pendekatan Barlow terhadap gangguan panik (Beck & Rector, 2000; Drury dkk., 1996; Haddock dkk., 1998). Dengan peringatan bahwa pendekatan yang cukup intelektual ini mungkin hanya tepat bagi minoritas pasien skizofrenia,-berikut ini adalah contoh awal pende­katan tersebut yang diambil dari salah satu kasus kami sendiri.
Seorang laki-laki didignosis menderita skizofrenia paranoid, terutama karena berbagai keluhannya mengenai "titik-titik tekanan" di keningnya dan berbagai bagian lain di tubuhnya. Ia yakin bahwa titik-titik tekanan tersebut merupakan sinyal yang berasal dari kekuatan luar untuk membantunya mengambil berbagai keputusan. Delusi paranoid tersebut tidak hilang oleh terapi obat dan berbagai pendekatan psikoterapeutik lain. Terapis, setelah meneliti riwayat kasus laki-laki tersebut, meng­ajukan hipotesis bahwa pasien menjadi sangat cemas dan tegang ketika ia harus mengambil keputusan, dan kecemasannya terwujud dalam bentuk ketegangan otot di beberapa bagian tubuh tertentu, dan bahwa pasien salah mengartikan ketegangan tersebut sebagai titik-titik tekanan, sinyal dari ruh-ruh yang membantu. Pasien dan terapis sepakat untuk menggali kemungkinan bahwa titik-titik tekanan tersebut sebenarnya merupakan bagian dari reaksi ketegangan terhadap situasi-situasi tertentu Untuk tujuan ini terapis memutuskan 'Mengajari pasien relaksasi otot mendalarn, dengan harapan bahwa relaksasi akan membuatnya mampu mengendalikan berbagai kelegangannya, termasuktekanan.
Namun, penting juga meminta si pasien memper­tanyakan sistem delusionalnya. Maka, dalam sesi pertama terapis meminta pasien untuk mengulurkan tangan kanannya, mengepalkan lengan dengan kuat, dan melengkungkan pergelangan tangannya ke bawah sehingga kepalan tangannya menekuk ke arah dalam lengannya. Tujuannya adalah menimbulkan rasa legang di bagian depan lengannya; hal itulah yang terjadi, dan si pasien mengamati bahwa perasaan tersebut mirip dengan titik-titik tekanan yang dirasakannya.
Pelatihan relaksasi ekstensif membuat klien mulai dapat mengendalikan kecemasannya dalam berbagai situasi di rumah sakit dan pada saat yang sama mengu­rangi intensitas titik-titik tekanan. Seiring ia mampu mengendalikan perasaannya, secara bertahap ia mampu menganggap titik-tilik tekanan tersebut sebagai suatu "sensasi," dan secara umum pembicaraannya mulai terlepas dari nada paranoid yang terdahulu.
Pelatihan relaksasi tampaknya memungkinkan pasien menguji hipotesis non-paranoid tentang titik­titik tekanan yang dirasakannya dan menemukan kebenaran hipotesis tersebut sehingga menghapuskan keyakinan terhadap sensasi-sensasi tersebut yang telah berperan dalam paranoia yang dideritanya. (Davison, 1966).
Contoh Kasus :
Kasus 1 :
Joe adalah siswa yang baik di sepanjang masa SMA-nya. Ia anggota tim futbol, mempertahankan ranking yang bagus dan mendapatkan pujian pada tiap semesternya.

Ia ramah dan populer. Menjelang akhir semester pertama di maktab (college)-nya, semuanya mulai berubah. Joe tak lagi makan bersama dengan kawan-kawannya, pada kenyataannya ia mulai berkurung diri di dalam kamarnya. Ia mulai mengebaikan kesehatan pribadinya dan berhenti menghadiri kuliah. Joe mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan harus membaca kalimat yang sama secara berulang-ulang. Ia mulai percaya bahwa kata-kata dalam naskah bukunya memiliki makna yang khusus baginya dan dengan sesuatu cara memberitahukannya sebuah pesan untuk menjalankan sebuah misi rahasia. Joe mulai menyangka bahwa kawan sekamarnya bersekongkol dengan telepon dan komputernya untuk mengawasi kegiatannya. Joe menjadi takut jika kawan sekamarnya tahu akan pesan dalam naskah bukunya dan kini mencoba untuk menipunya. Joe mulai percaya teman sekamarnya dapat membaca pikirannya, pada kenyataannya siapapun yang ia lewati di aula atau di jalanan dapat mengatakan apapun yang ia pikirkan. Saat Joe sedang sendirian di kamarnya, ia dapat mendengar bisikan mereka yang ia percayai sedang mengawasinya. Ia tak dapat memastikan apa yang mereka katakan tapi ia yakin bahwa mereka membicarakannya.
Kasus 2 : Analisis Film A Beautiful Mind
Film A Beautiful Mind menggambarkan kisah perjuangan seorang ahli matematika genius yang bernama John Forbes Nash, yang berhasil menciptakan konsep ekonomi yang kini dijadikan sebagai dasar dari teori ekonomi kontemporer. Selama Perang Dingin berlangsung, Nash mengidap schizophrenia paranoid yang membuatnya hidup dalam halusinasi dan selalu dibayangi ketakutan hingga ia harus berjuang keras untuk sembuh dan meraih hadiah Nobel tahun 1994, kala ia memasuki usia senja.
Kisah dibuka dengan Nash muda di tahun 1948 yang memulai hari-hari pertama kuliahnya di universitas bergengsi, Princeton University. Sejak awal, Nash -lelaki sederhana dari dusun Virginia digambarkan sebagai pribadi penyendiri, pemalu, rendah diri, introvert sekaligus aneh. “Aku tak terlalu suka berhubungan dengan orang dan rasanya tak ada orang yang menyukaiku, ujar Nash berkali-kali.” Di balik segala kekurangannya, Nash juga digambarkan sebagai laki-laki arogan yang bangga akan kepandaiannya. Ini ditunjukkannnya dengan cara menolak mengikuti kuliah yang dianggapnya hanya menghabiskan waktu dan membuat otak tumpul. Sebagai gantinya, Nash lebih banyak meluangkan waktu di luar kelas demi mendapatkan ide orisinal untuk meraih gelar doktornya dan diterima di pusat penelitian bergengsi, Wheeler Defense Lab di MIT.
Di tengah persaingan ketat, Nash mendapat teman sekamar yang sangat memakluminya, Charles Herman yang memiliki keponakan seorang gadis cilik Marcee. Nash yang amat terobsesi dengan matematika-sampai-sampai menulis berbagai rumus di kaca jendela kamar dan perpustakaanakhirnya secara tak sengaja berhasil menemukan konsep baru yang bertentangan dengan teori bapak ekonomi modern dunia, Adam Smith. Konsep inilah yang dinamakannya dengan teori keseimbangan, yang mengantarkannya meraih gelar doktor. Mimpi Nash menjadi kenyataan. Tak hanya meraih gelar doktor, ia berhasil diterima sebagai peneliti dan pengajar di MIT.
Hidup Nash mulai berubah ketika ia diminta Pentagon memecahkan kode rahasia yang dikirim tentara Sovyet. Di sana, ia bertemu agen rahasia William Parcher. Dari agen rahasia ini, ia diberi pekerjaan sebagai mata-mata. Pekerjaan barunya ini membuat Nash terobsesi sampai ia lupa waktu dan hidup di dunianya sendiri.
Adalah Alicia Larde, seorang mahasiswinya yang cantik, yang membuatnya sadar bahwa ia juga membutuhkan cinta. Ketika pasangan ini menikah, Nash justru semakin parah dan merasa terus berada dalam ancaman bahaya gara-gara pekerjaannya sebagai agen rahasia. Nash semakin hari semakin terlihat aneh dan ketakutan, sampai akhirnya ketika ia sedang membawakan makalahnya di sebuah seminar di Harvard, Dr Rosen seorang ahli jiwa menangkap dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Dari situlah terungkap, Nash mengidap paranoid schizophrenia. Beberapa kejadian yang dialami Nash selama ini hanya khayalan belaka. Tak pernah ada teman sekamar, Herman dan keponakannya yang menggemaskan, Marcee ataupun Parcher dengan proyek rahasianya.
Untungnya, Alicia adalah seorang istri setia yang tak pernah lelah memberi semangat pada suaminya. Dengan dorongan semangat serta cinta kasih yang tak pernah habis dari Alicia, Nash bangkit dan berjuang melawan penyakitnya.
ANALISA:

Dari film tersebut dapat diketahui bahwa John Nash menderita skizofrenia paranoid, yang ditandai dengan simpton – simpton/ indikasi sebagai berikut:
1. adanya delusi atau waham, yakni keyakinan palsu yang dipertahankan.
- Waham Kejar (delusion of persecution), yaitu keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu sedang mengancam atau berencana membahayakan dirinya, dalam film tersebut yaitu agen pemerintah dan mata – mata rusia. Waham ini menjadikannya paranoid, yang selalu curiga akan segala hal dan berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, serta diawasi.
- Waham Kebesaran (delusion of grandeur), yaitu keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan dan kekuatan serta menjadi orang penting. John Nash menganggap dirinya adalah pemecah kode rahasia terbaik dan mata – mata/agen rahasia.
- Waham Pengaruh (delusion of influence), adalah keyakinan bahwa kekuatan dari luar sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakannya. Adegan yang menunjukkan waham ini yaitu ketika disuruh membunuh isterinya, ketika disuruh menunjukkan bahwa dia jenius, dan ketika diyakinkan bahwa dia tidak berarti oleh para teman halusinasinya.
2. adanya halusinasi, yaitu persepsi palsu atau menganggap suatu hal ada dan nyata padahal kenyataannya hal tersebut hanyalah khayalan. John Nash mengalami halusinasi bertemu dengan tiga orang yang secara nyata tidak ada yaitu Charles Herman (teman sekamarnya), William Parcher (agen pemerintah) dan Marcee (keponakan Charles Herman). Selain itu juga laboratorium rahasia, dan juga nomer kode yang dipasang pada tangannya.
3. gejala motorik dapat dilihat dari ekpresi wajah yang aneh dan khas diikuti dengan gerakan tangan, jari dan lengan yg aneh. Indikasi ini sangat jelas ketika John Nash berkenalan dengan teman – temannya dan juga jika dilihat dari cara berjalannya.
4. adanya gangguan emosi, adegan yang paling jelas yaitu ketika John Nash menggendong anaknya dengan tanpa emosi sedikitpun.
5. social withdrawl (penarikan sosial), John Nash tidak bisa berinteraksi sosial seperti orang – orang pada umumnya, dia tidak menyukai orang lain dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya sehingga dia hanya memiliki sedikit teman.
Dalam film tersebut John Nash dibawa ke rumah sakit jiwa dan mendapatkan perawatan ECT (Electroshock Therapy) atau terapi elektrokonvulsif 5 kali seminggu selama 10 minggu. ECT merupakan terapi yang sering digunakan pada tahun 1940 – 1960 sebelum obat antipsikotik dan anti depresan mudah diperoleh. Cara kerja terapi ini yaitu mengalirkan arus listrik berdaya sangat rendah ke otak yang cukup untuk menghasilkan kejang yang mirip dengan kejang epileptik. Kejang inilah yang menjadi terapetik bukan arus listriknya. Sebelum dilakukan ECT pasien disuntikkan insulin sebagai pelemas otot yang akan mencegah spasme konvulsif otot-otot tubuh dan kemungkinan cedera. Efek samping penggunaan ECT adalah kelupaan atau gangguan memori. Efek samping ini dapat dihindari dengan menjaga rendahnya arus listrik yang dialirkan.
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, John Nash menjalani perawatan di rumah dengan Obat Psikoterapetik. Obat ini harus terus diminum secara teratur oleh penderita skizofrenia. Meskipun obat ini tidak dapat menyembuhkan skizofrenia, namun obat – obat antipsikotik akan membantu penderita untuk menghilangkan halusinasi dan konfusi, serta memulihkan proses berpikir rasional. Cara kerja obat – obat antipsikotik yaitu menghambat reseptor dopamin dalam otak. Efek dari pemakaian obat tersebut yaitu : Sulit berkosentrasi, menghambat proses berpikir, tidak memiliki gairah seksual.
Selain terapi biologis, John Nash juga mendapat terapi dari isterinya yaitu berupa dukungan sosial yang diberikan kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial (dengan tukang sampah), dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi Sosial ini sangat membantu penderita skizofrenia dalam menghadapi peristiwa – peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Davidson, Gerald C, dkk. 2006. Psikologi Abnormal, edisi ke-9. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Nolen, Susan and Hoeksoma. 2006. Abnormal Psychology, fourth edition. McGraw-Hill Higher Education.
Butcher, James N., et al. 2007. Abnormal Psychology Core Concepts. Allyn & Bacon.
Nevid, Jeffrey S., et al. 1999. Abnormal Psychology in Changing World, fourth edition. Prentice Hall College Div.